Skip to content

MENCARI SISTEM EKONOMI INDONESIA YANG “MENSEJAHTERAKAN”

June 28, 2012

Oleh: La Ode Sabaruddin 

Pendahuluan

Sepanjang sejarah peradaban manuasia, kesejahteraan telah menjadi tujuan dari setiap masyarakat manusia yang diwujudkan dengan usaha berkesinambungan dalam bentuk sistem, aturan, dan nilai yang mengatur kehidupan mereka. Usaha-usaha tersebut melibatkan proses dialektika yang tak pernah berakhir tentang konsepsi normatif, struktural, dan perilaku tentang kesejahteraan. Dialektika tersebut tentu berangkat dari perbedaan pandangan mengenai apa yang disebut kesejahteraan dan bagaimana hal itu dapat direalisasikan1. Terlepas dari adanya beragam perdebatan tersebut, pandangan umum yang dapat diterima adalah “kesejahteraan” cenderung diterjemahkan dalam bentuk pencapaian tujuan-tujuan materiil seperti distribusi kekayaan yang merata, terpenuhinya kebutuhan setiap individu, pengentasan kemiskinan, tersedianya pilihan bagi setiap individu untuk hidup dengan layak, dan sebagainya (Sachs, 2005; Galbraith, 1999; Keynes, 1963; wikipedia.org). Jika merujuk pada sasaran-sasaran materiil tersebut, dapat dikatakan bahwa belum ada satupun negara di dunia saat ini yang berhasil mewujudkan apa yang disebut “kesejahteraan”. Anggapan ini tentu masih debatable, tapi paling tidak jika melihat indikator-indikator makroekonomi baik negara maju maupun negara berkembang dapat dikatakan terjadi ketidakstabilan ekonomi dan ketidakseimbangan makroekonomi yang direfleksikan oleh tingginya frekuensi fluktuasi ekonomi, laju inflasi dan pengangguran yang tinggi, membengkaknya defisit anggaran dan neraca pembayaran, ketidakstabilan nilai tukar, pasar, barang dan bursa saham. Sejumlah negara berkembang bahkan lebih tragis lagi dengan masalah utang luar negeri yang mengancam kelangsungan proses pembangunan mereka, termasuk stabilitas sistem keuangan secara internasional.

Masalah-masalah lainnya adalah terkait dengan food security, energy security, dan environmental security mengingat adanya kecenderungan negara-negara di dunia yang terus melakukan ekploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam. Kondisi lainnya yang mengkhawatirkan adalah gejala degenerasi sosial yang direfleksikan oleh frustasi, kejahatan, penggunaan obat-obat terlarang, alkoholisme, human trafficking, perceraian, bunuh diri, dan sejumlah penyakit sosial lainnya yang menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini juga diperparah dengan ketidakstabilan politik terutama di negara berkembang yang memicu tindakan anarkisme, kerusuhan, dan sejumlah dampak sosio-ekonomi lainnya.

Kondisi yang digambarkan di atas tentu menantang rasionalitas kita, mengapa tidak ada satupun negara di dunia yang mampu mewujudkan “kesejahteraan”, paling tidak dalam bentuk terminologi umum yang diterima berupa pencapaian tujuan-tujuan materiil dari pembangunan ekonomi. Jawaban apologis yang mungkin dapat diajukan adalah adanya scarcity. Akan tetapi, mayoritas ekonom tentu mengetahui bahwa kelangkaan tersebut sebenarnya bersifat relatif sehingga adalah sangat mungkin untuk merealisasikan sasaran-sasaran materiil pembangunan ekonomi dan meminimalkan ketidakstabilan dan ketidakseimbangan makroekonomi dengan catatan bahwa pemanfaatan sumber daya dilakukan secara ‘efisien’ dan ‘merata’. Pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah apa yang dimaksud dengan ‘efisien’ dan ‘merata’ dan bagaimana hal tersebut direalisasikan. Definisi baku yang umumnya digunakan untuk menggambarkan efisiensi adalah kondisi pareto optimum yaitu penggunaan sumber daya sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi kemungkinan untuk mencapai hasil yang secara sosial dapat diterima tanpa menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi yang berkepanjangan dan eksploitasi penggunaan sumber daya (terutama sumber daya tak terbarukan) serta menciptakan kerusakan lingkungan yang dapat mengancam kehidupan di bumi. Sedangkan pemerataan dapat direfleksikan oleh kondisi dimana barang dan jasa didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan semua individu dapat dipenuhi secara memadai serta adanya distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata tanpa berdampak siginifikan terhadap motivasi kerja, menabung, investasi, dan usaha. Jawaban-jawaban tentang efisiensi dan pemerataan tersebut terkait dengan sistem ekonomi, sehingga pemahaman tentang sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara-negara di dunia menjadi penting untuk menjelaskan mengapa ‘kesejahteraan’ yang diimpikan oleh setiap negara belum dapat diwujudkan. Dari penjelasan ini selanjutnya dapat dikemukakan pendekatan atau pilihan sistem ekonomi yang mungkin dapat ditempuh oleh suatu negara untuk merealisasikan ‘kesejahteraan’, termasuk Indonesia. Dalam esai ini, penulis mencoba menggunakan alur berpikir tersebut untuk menguraikan kemungkinan pilihan sistem ekonomi bagi Indonesia termasuk pembahasan aspek ideologis yang mendasari pilihan tersebut.

Sistem Ekonomi dan Peranan Ideologi   

Jawaban tentang apa yang dimaksud ‘kesejahteraan’ dan bagaimana merealisasikannya atau dengan kata lain bagaimana suatu sistem ekonomi melakukan alokasi sumber daya secara efisien dan terdistribusi secara merata pada dasarnya terdiri dari atas pertanyaan-pertanyaan apa, bagaimana, dan untuk siapa melakukan produksi? berapa jumlah barang dan jasa yang harus diproduksi? siapa yang akan memproduksinya? kombinasi sumber daya dan teknologi apa yang dibutuhkan? Serta siapakah yang akan menikmati barang dan jasa yang diproduksi tersebut (Friedman, 1979; Samuelson & Nordhaus, 1985).

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dalam sebuah kevakuman, tetapi diperlukan suatu pandangan dunia (world view) yang dikenal dengan istilah ideologi. Ideologi adalah visi yang komprehensif dan digunakan sebagai cara memandang segala sesuatu. Secara implisit setiap sistem yang berlaku dalam kehidupan manusia mengikuti sebuah ideologi tertentu walaupun terkadang tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit (Wikipedia.org). Dengan demikian, setiap sistem ekonomi pasti dipengaruhi oleh ideologi tertentu yang didasarkan pada sejumlah asumsi (kepercayaan) baik implisit maupun eksplisit mengenai asal-muasal alam semesta dan hakikat kehidupan manusia di dunia. Pandangan dunia atau ideologi tersebut akan menguasai hakikat renungan manusia tentang semua subjek (Lovejoy, 1964). Akibatnya, akan selalu terjadi perbedaan-perbedaan konklusi mengenai makna dan tujuan hidup manusia, kepemilikan, dan sasaran penggunaan sumber daya yang terbatas di tangan manusia, hubungan antara manusia satu sama lain termasuk dengan lingkungan mereka, serta kriteria efisisiensi dan pemerataan.

Pandangan dunia atau ideologi ini berfungsi sama bagi setiap sistem ekonomi yaitu menjadi landasan normatif dan menentukan strategi dalam mencapai sasaran-sasaran yang ingin diwujudkan, dalam hal ini mekanisme yang mampu merealisasikan alokasi optimum sumber daya secara efisien dan merata. Pandangan dunia, strategi, dan sasaran yang diwujudkan tersebut harus konsisten. Jika tidak, sistem itu akan rentan krisis sekalipun ada penyesuaian-penyesuaian minor yang dilakukan tetapi pada akhirnya krisis lain akan muncul kembali dalam bentuk lain bahkan dengan intensitas yang lebih membahayakan (Greenberg, 1974; Offe, 1984).

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah berkembang sejumlah pandangan dunia atau ideologi yang membawa konsekwensi pada keragaman sistem ekonomi termasuk perbedaan strategi untuk menjelaskan permasalahan ekonomi. Secara umum, sistem ekonomi yang berlaku saat ini dapat klasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu kapitalisme, sosialisasi, dan sistem ekonomi campuran2. Masing-masing telah mengalami revisi yang signifikan dari versi aslinya seiring dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya dalam kurun waktu yang lama termasuk perubahan yang terjadi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Meskipun sudah mengalami berbagai revisi, kenyataannya sistem-sistem ekonomi tersebut belum mampu mewujudkan sasaran-sasaran materiil yang disebut dengan ‘kesejahteraan’ terutama di negara-negara berkembang. Ketidakmampuan tersebut menurut Chapra (1992) bukanlah sebuah peristiwa aksidental tetapi lebih kepada kelemahan-kelemahan struktural yang ada dalam sistem tersebut yaitu adanya inkosistensi sasaran-sasaran yang ingin diwujudkan dengan pandangan dunia dan strategi. Sistem-sistem tersebut menurut Burt (2003) membutuhkan pemikiran ulang tentang suatu falsafah kemanusiaan yang benar, mengingat efisiensi dan pemerataan tidak dapat didefinisikan tanpa adanya suatu filter moral (lihat juga Ward, 1972). Seperti yang dikatakan oleh Knight dalam Breit et.al (1986) bahwa dalam prinsip ilmu fisika yang paling penting adalah materi tidak diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Karenanya, total output selalu sama dengan input dalam terminologi fisika. Dengan demikan, efisiensi pada dasarnya bukan perbandingan antara total output dan total input, tetapi perbandingan antara output yang berguna dengan total output atau input. Ini berarti diperlukan suatu ukuran kegunaan untuk mengukur efisiensi. Menurut Chapra (1992), ukuran kegunaan tersebut tidak dapat disediakan oleh preferensi individual dan harga tetapi membutuhkan suatu filter moral yang secara sosial disepakati. Filter moral ini juga berlaku ketika mendefinisikan pemerataan.

Sistem Ekonomi Kapitalisme

Sepanjang sejarah, kapitalisme dalam arti klasik laissez-faire, tidak pernah diterapkan oleh masyarakat atau negara manapun di dunia. Yang berlaku adalah kapitalisme yang mengalami modifikasi terus-menerus selama beberapa abad terutama adanya intervensi pemerintah yang ekstensif secara parsial terkait dengan aspek pemerataan. Setelah keruntuhan sosialisme, sistem ekonomi kapitalisme dengan berbagai bentuk varian yang berbeda telah menjadi pilihan bagi mayoritas negara di dunia bahkan termasuk negara-negara yang dahulunya tergolong negara-negara komunis. Secara implisit, sistem ekonomi yang saat ini berlaku di Indonesia pun cenderung didominasi oleh pemikiran dan pilihan kebijakan ekonomi kapitalisme, sekalipun masih diklaim dengan istilah sistim ekonomi campuran. Oleh karenanya, diperlukan pemahaman atas logika sistem ekonomi kapitalisme, faktor-faktor yang telah menyebabkan perkembangan pandangan dunia dan strateginya, serta melihat apakah secara logika memungkinkan bagi sistem ini untuk mewujudkan efisiensi yang diklaim sebagai ciri khasnya, dan pemerataan yang menurut sebagian ekonomi tidak akan pernah terwujud dalam sistem ini.

Pandangan dunia kapitalisme sangat dipengaruhi oleh gerakan pencerahan yang berlangsung dari abad ke-17 sampai permulaan abad ke-19 (lihat Brinton, 1967). Ciri khas dari gerakan pencerahan adalah superioritas akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran absolut, yang selanjutnya disebut dengan istilah sekularisme, yaitu mereduksi wilayah agama hanya sebagai urusan pribadi termasuk hilangnya kesakralan nilai-nilai moral dan etika sebagai penilaian kolektif masyarakat (lihat Durant, 1970). Akibatnya, masyarakat tidak memiliki mekanisme filter yang secara sosial disepakati. Sebagai gantinya, self-interest, harga, dan keuntungan menjadi kriteria utama bagi alokasi dan distribusi sumber daya untuk menstabilkan permintaan dan penawaran agregat. Hilangnya mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral dan melemahnya kewajiban sosial yang diserukan agama, menyebabkan ketidakmungkinan mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang penuh solidaritas terutama terkait dengan penciptaan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata (Durant, 1993; Toynbee, 1987).

Konsepsi lainnya yang menjadi bangunan utama sistem ekonomi kapitalisme adalah manusia ekonomi ‘rasional’ dan ‘self –interest’ yang dianggap sebagai satu-satunya dorongan perilaku setiap agen ekonomi (Jevon, 1978; Friedman,1962; Edgeworth, 1881). Adam Smith berpendapat bahwa jika setiap individu dibiarkan memperturutkan kepentingan dirinya, maka ‘tangan-tangan gaib’ (invisible hand) kekuatan-kekuatan pasar melalui batas-batas yang dibuat oleh proses kompetisi akan mendorong kepentingan masyarakat seluruhnya, sehingga menimbulkan keharmonisan antara kepentingan individu dan umum (lihat Stepelevich, 1977). Dengan kata lain kepentingan diri yang tak terhambat akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Singkatnya, Adam Smith memberikan kesakralan terhadap ‘self-interest’ yang diyakininya mampu berfungsi sebagai mekanisme untuk mewujudkan ‘kesejahteraan’. Konsep invisble hand ini kemudian direpresentasikan dalam bentuk mekanisme pasar melalui harga sebagai instrumen utamanya. Dalam teori ekonomi, aliran pemikiran ini dikenal dengan aliran klasik yang kemudian bermetamorfosis menjadi aliran neoklasik dalam konteks perkembangan teori ekonomi kontemporer (lihat Samuelson and Nordhaus, 2009).

Harus diakui bahwa eksistensi self-interest yang didukung oleh mekanisme pasar telah menciptakan ekspansi kekayaan dan kemakmuran dalam perekonomian di negara-negara maju. Akan tetapi, kemakmuran tersebut belum berhasil menghapuskan kemiskinan atau memenuhi kebutuhan setiap orang. Ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan terus meningkat. Fenomena teraktual dari ekses buruk kesenjangan ekonomi yang diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalisme adalah gerakan Occupy Wall Street. Occupy Wall Street adalah cerminan kemarahan dan kebencian massif terhadap sistim ekonomi kapitalisme karena telah menciptakan “darwinisme ekonomi” dan melakukan ketidakadilan sistematis. David F Ruccio (Professor Ekonomi Universitas Notre Dame, USA) menulis antara tahun 1979 hingga 2007, pendapatan kelas menengah keluarga di Amerika tumbuh sebesar 40%, sementara pendapatan masyarakat miskin Amerika mencapai 20%. Namun, pada saat yang sama, pendapatan dari orang-orang superkaya yang merupakan 1% dari jumlah penduduk Amerika secara mengejutkan naik 275%, hasil dari hal ini adalah bahwa pada hari ini, pendapatan yang diterima oleh 20% orang-orang terkaya di Amerika adalah lebih tinggi dari pendapatan 80% penduduk Amerika lainnya. Sementara itu, occupywallst.org, mencatat bahwa 400 orang terkaya Amerika memiliki kekayaan melebihi total kekayaan setengah penduduk Amerika. Maka tak heran, Joseph Stiglitz mengkritik ekonomi Amerika dengan mengatakan “dari 1%, oleh 1%, untuk 1%” (http://www.vanityfair.com).

Kesenjangan ekonomi tidak hanya menjadi fenomena Amerika, tetapi kini menjadi fenomena global. Spilanne (2003) menulis bahwa pada tahun 1960, 20% penduduk dunia terkaya menikmati 75% pendapatan dunia; sedangkan 20% penduduk termiskin hanya menerima 2,3% pendapatan dunia. Pada tahun 1997 ketimpangan global itu bukan makin berkurang, namun makin parah. Sebanyak 20% penduduk terkaya itu menikmati pendapatan global makin banyak, yakni 80%. Sebaliknya, 20% penduduk termiskin menerima pendapatan global makin sedikit, yakni menjadi sekitar 1% saja. Laporan UNDP (2011), merilis bahwa seperlima orang terkaya dari penduduk dunia mengkonsumsi lebih dari 85 % semua barang dan jasa dunia. Sebaliknya seperlima penduduk termiskin hanya mendapatkan sekitar 1 persen barang dan jasa dunia. Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak Exxon Mobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion . Nilai penjualan Exxon Mobil yang mencapai $404 billion tersebut, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Hasil penelitian Brecher dan Smith, 3 orang terkaya di dunia, kekayaannya lebih dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin dunia, yang berarti setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia. Tidak kalah hebatnya, menurut penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tetinggi dunia setara dengan 3 miliar manusia. Di Indonesia, kekayaan dari 40 orang-orang terkaya Indonesia setara dengan kekayaan dari 60 juta penduduk termiskin (http://www.thejakartaglobe.com). Sejumlah fenomena tersebut menunjukkan bahwa efisiensi dan pemerataan masih tetap samar meskipun telah terjadi pembangunan yang cepat dan pertumbuhan luar biasa dalam kekayaan. Karena itulah, sepanjang sejarah konsep-konsep ekonomi kapitalisme tak pernah sepi dari kritik (lihat George, 2002; Carlyle, 2005; Ruskin, 2006; Dickens, 2012).

Kenyataan bahwa ada ketidakmerataan kekayaan karena pewarisan dan perbedaan akses serta perbedaan karakteristik individual telah memungkinkan pihak tertentu mengendalikan penggunaan sebagian besar sumber daya yang umumnya secara sosial kurang diinginkan. ‘Jurus’ sistem ekonomi kapitalisme yang mengandalkan mekanisme harga untuk mengatasi hal tersebut adalah sesuatu yang tidak feasible mengingat ketidakmampuan harga dalam mengerem ‘kerakusan’ dan ‘prestise’. Pasar, seperti yang dikatakan oleh Schumacher telah melembagakan individualisme dan meniadakan tanggung jawab. Bahkan, sekalipun sistem harga didukung dengan sejumlah intervensi pemerintah, sistem ini tidak akan mampu mengerem klaim individual atas sumber daya terutama terkait dengan alokasi dan distribusi sumber daya yang secara sosial diinginkan.

Secara teoritis, sistem ekonomi kapitalisme yang memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepemilikan individu terhadap alat-alat produksi dan didukung oleh kompetisi yang sehat akan menciptakan efisiensi yang lebih besar dalam penggunaan sumber daya. Akan tetapi pada saat yang sama, kondisi tersebut juga menciptakan konglomerasi. Karenanya, sepanjang sejarah kesenjangan ekonomi yang terus menggelembung adalah  sesuatu hal yang telah menjadi ‘warna’ sistem ekonomi kapitalisme. Maka tak heran terdapat pandangan bahwa kondisi tersebut adalah hasil alami dari struktur sistem ekonomi kapitalisme yang beroperasi pada netralitas nilai. Intervensi pemerintah yang direfleksikan dalam bentuk lembaga pembentuk undang-undang termasuk lembaga operasional yang melaksanakannya tidak mampu berbuat banyak karena mereka cenderung tidak lebih hanya sekedar menjadi ‘instrumen’ dari pihak-pihak yang mendominasi penguasaan sumber daya dalam masyarakat.

Banyak ekonom yang sebenarnya telah menyadari kelemahan ‘mekanisme pasar’ untuk menciptakan distribusi pendapatan dan kekayaan yang secara sosial diinginkan. Singkatnya, mereka mengakui bahwa kerangka kerja normatif, dan struktur ekonomi dengan segala institusinya tidak bisa dipisahkan dari kesenjangan yang saat ini terus berlangsung. Kondisi tersebut telah mendorong lahirnya berbagai varian lain sistem ekonomi kapitalisme seperti aliran Keynesian, aliran moneteris, aliran institusionalisme, negara kesejahteraan, dan lain-lain (lihat Hausman, 2008). Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa varian tersebut juga gagal karena sebenarnya modifikasi yang dilakukan tidak mengubah prinsip-prinsip dasar dalam ekonomi kapitalisme terutama terkait dengan pandangan dunia sistim ekonomi kapitalisme. Modifikasi yang dilakukan Keynes misalnya, hanya mendorong kesempatan kerja penuh, dan sebagaimana sejarah mencatat bahwa ekonomi Keynesian telah menciptakan krisis akibat laju inflasi yang terus meningkat sejak tahun 1970-an. Sementara itu, negara kesejahteraan sebagai sintesa dari ekonomi pasar dan Keynesian telah berupaya mengatasi hal tersebut melalui peran seimbang pemerintah dalam ekonomi dan peran ‘kesejahteraan’ melalui regulasi yang tepat dan pengeluaran untuk tujuan-tujuan kesejahteraan. Akan tetapi pengeluaran-pengeluaran untuk tujuan kesejahteraan yang terlalu besar, telah menyebabkan pengurangan pengeluaran pada sektor swasta dan pemerintah di bidang-bidang lainnya sehingga seperti merupakan counter attack bagi negara kesejahteraan. Solusi yang mungkin adalah pengurangan pengeluaran untuk tujuan-tujuan kesejahteraan. Akan tetapi, pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah mungkinkah mengurangi pengeluaran untuk kesejahteraan atau meninggalkan tujuan untuk mencapai kesempatan kerja penuh dan laju partumbuhan yang tinggi dalam jangka waktu yang panjang dalam sebuah masyarakat demokratis, dimana tujuan-tujuan humanitarian masyarakat masih hidup? Mengingat hal tersebut tidak mungkin, maka hal ini menunjukkan adanya kelemahan epistemologis dan metode keseluruhan sistem ekonomi kapitalisme sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Sistem Ekonomi Sosialisme  

Sistem ekonomi sosialisme merupakan antitesa sistem ekonomi kapitalisme yang berkembang pada abad ke-19 sebagai reaksi atas alokasi sumber daya yang memihak golongan kaya sehingga terjadi ketidakadilan yang direfleksikan oleh kesenjangan dalam pendapatan dan kekayaan. Sistem ekonomi sosialisame memiliki sejumlah varian antara lain utopina, fabian, syndicalist, guild, marxis, market, democratic, dan lain-lain (lihat Hausman, 2008). Dalam esai ini tidak akan dipaparkan perbedaan varian-varian tersebut, tetapi hanya menyajikan karakteristik-karakteristik umum dari sistem ekonomi sosialisme. Sistem ekonomi sosialisme memiliki 3 (tiga) prinsip utama yaitu mewujudkan kesamaan (equality), menghapus kepemilikan individu (private property) secara keseluruhan atau sebagian, dan mengatur produksi dan distribusi secara kolektif. Secara praktis, penerapan prinsip-prinsip tersebut memiliki ragam yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan varian-varian sistem ekonomi sosialisme. Akan tetapi, varian-varian tersebut pada dasarnya berpijak pada ideologi Marxisme yang dikemukakan Karl Marx (Lihat Hausman, 2008; Hutchison, 2000).

Marxisme adalah suatu sintesis dari berbagai arus ideologi sekuler yang berkembang pada awal dan pertengahan abad ke-19, seperti pikiran-pikiran sekuler gerakan pencerahan, dialektika Hegel, materialisme Feurbach, teori perang kelas dari Michelet, doktrin ekonomi dari Adam Smith dan David Ricardo, serta slogan-slogan militan revolusi perancis. Marx mencoba mendiagnosa kondisi manusia dalam masyarakat dan mencoba menformulasikan strategi untuk mencapai yang disebut dengan ‘kesejahteraan’. Dia menggunakan sejumlah konsep seperti alienasi, eksploitasi, nilai surplus, kepemilikan barang oleh swasta, perjuangan kelas, perbudakan upah, dan determinisme ekonomi.

Konsep pokok dalam Marxisme adalah alienasi yang timbul dalam masyarakat kapitalis karena eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletariat (buruh). Menurut Marx, semua nilai ekonomi sebenarnya berasal dari kaum proletar, tetapi mereka mendapatkan tidak lebih dari upah subsistence. Surplus ekonomi dalam bentuk profit hanya dinikmati oleh kaum borjuis sehingga mereka memiliki posisi yang kuat dan menempatkan kaum proletar dengan daya tawar yang rendah atau menurut Marx kepada suatu keadaan perbudakan upah abadi. Proses ini pada akhirnya akan memicu timbulnya dehumanisasi sehingga menyebabkan terjadinya alienasi dan kaum proletar tidak mampu mengembangkan potensi kemanusiaannya secara penuh. Selain itu proses tersebut membentuk dua kelas sosial yang bersifat antagonis sehingga akan selalu terjadi perang kelas yang menurut Marx merupakan konsekwensi yang tak dapat dihindari dalam sejarah kehidupan manusia (determinisme ekonomi). Determinisme ekonomi menyatakan bahwa kehidupan manusia tidak ditentukan oleh gagasan-gagasan tentang manusia termasuk agama, negara, moral, etika, dan lain-lain, tetapi oleh kondisi kehidupan ekonomi mereka. Karena itu, kewajiban manusia menurut Marx adalah menghapuskan semua keadaan yang menyebabkan manusia dilecehkan, diperbudak, dan ditinggalkan sebagai makhluk terhina dan satu-satunya cara untuk menghilangkan hal tersebut adalah dengan menghapus kepemilikan barang, yang dapat ditempuh melalui suatu revolusi sosial.

Konsepsi Marxisme seperti diuraikan di atas telah banyak mendapatkan kritik karena adanya dualisme dalam filsafat Marxisme yaitu di satu sisi terdapat penekanan yang berlebihan terhadap aspek determinisme ekonomi yang sangat pesimistis, ekploitasi dan konflik kelas yang tidak memiliki jalan keluar. Di sisi lain terdapat arus idealis yang mencari jalan keluar kemanusiaan dari determinisme ekonomi. Selain itu, konsep Marx tentang materialisme sejarah menganggap tidak adanya fitrah manusia, padahal konsep alinenasi hanya dapat dihadapi dengan eksistensi fitrah manusia. Kedua aspek tersebut sering dipandang sebagai inkonsistensi yang terjadi dalam Marxisme.

Sejarah membuktikan bahwa sistem ekonomi sosialisme khususnya yang pernah diterapkan oleh Uni Soviet (sekarang Rusia) mengalami kegagalan. Seperti halnya kapitalisme, kegagalan tersebut bukanlah suatu peristiwa aksidental melainkan kesalahan ‘bawaan’ yang melekat pada sistem ekonomi sosialisme baik pada tataran normatif maupun struktur atau kelembagaannya. Sentralisasi produksi dan distribusi dalam sistem ekonomi sosialisme telah menciptakan inefisiensi yang demikian besar, seperti yang ditulis Busky (2002) bahwa selama berlakunya sistem ekonomi sosialisme di Uni Soviet termasuk setelah keruntuhannya dan pecah menjadi beberapa negara, negara-negara tersebut menggunakan energi dua setengah kali lebih banyak dari negara-negara OECD untuk setiap unit output yang diproduksi. Inefisiensi tersebut dipicu oleh tidak adanya insentif dan mekanisme untuk berproduksi dengan efisien seperti kedaulatan konsumen dan kompetisi.

Raison d’etre utama sistem ekonomi sosialisme adalah pemerataan, tetapi dalam kenyataan praktisnya sosialisme hanya mampu mengurangi sedikit ketidakmerataan. Kaum buruh yang tidak mempunyai hak milik, tetap sebagai buruh yang tidak memiliki faktor produksi. Mereka dipisahkan dari pusat-pusat kekuasaan, lebih jauh dari sistem ekonomi kapitalisme dimana mereka masih mendapat sedikit pengaruh melalui perserikatan kaum buruh, media massa, dan pemilu. Impian untuk menguasai atau memiliki sarana produksi dan yang diproduksi tak pernah ada, sehingga secara de facto keadaan kaum buruh dalam sistem ekonomi sosialisme justru lebih buruk dibandingkan dengan sistem ekonomi kapitalisme. Perbudakan upah yang ingin dihapuskan oleh Karl Marx bahkan terus berlanjut dengan tingkat intensitas yang lebih besar. Kekuasaan telah menjadi alat penindasan buruh dalam sosialisme, hingga seorang buruh hanya punya pilihan apakah dia tetap bekerja dengan ketidakadilan dalam kekuasaan yang tiranik atau memperjuangkan hak-haknya yang membawanya menjadi penghuni kamp konsentrasi.

Kesenjangan sosial dan perbedaan kelas juga masih tetap ada. Sentralisasi alokasi dan distribusi sumber daya oleh negara telah menciptakan kelas baru pengontrol negara, yang berbeda dengan kelas kaum buruh. Tidak adanya falsafah moral dan agama, melainkan hanya mendasarkan pada dialektika telah memunculkan dominasi kelas pengontrol negara atas kelas sosial yang lain. Pada akhirnya kegagalan moral, kesenjangan sosial dan akses yang berbeda sebagai akibat perbedaan kelas juga menjadi ‘warna’ sistim ekonomi sosialisme. Akumulasi kegagalan tersebut telah menyebabkan sistem ekonomi sosialisme mengalami revisi yang hampir menghilangkan identitas aslinya menjadi bentuk lain kapitalisme. Dalam konteks kontemporer, salah satu bentuk revisi tersebut adalah seperti yang terjadi di Cina yang disebut dengan istilah kapitalisme autokrasi (lihat Kagan, 2008).

Sebagian kalangan menilai bahwa revisi sistem ekonomi sosialisme yang tampaknya bergerak menuju sistem ekonomi kapitalisme tentu pada akhirnya akan menghilangkan raison d’etre sistem ekonomi sosialisme sekaligus mengulangi kegagalan sistem ekonomi kapitalisme. Kesimpulan ini mungkin ‘debatable’ jika melihat potret ‘kemajuan’ pembangunan ekonomi seperti di Cina atau beberapa negara komunis di Amerika Latin yang sebelumnya menerapkan sistem ekonomi sosialisme dan kemudian melakukan beberapa ‘penyesuaian’. Kesimpulan ini perlu diuji dengan pertanyaan apakah dengan mengambil beberapa elemen tertentu dari kapitalisme (yang dia sendiri juga telah gagal), dapat menciptakan restrukturisasi revolusioner yang diperlukan dalam mewujudkan ‘kesejahteraan’, atau mungkinkah revisi sistem ekonomi sosialisme tersebut mampu mencapai alokasi dan distribusi sumber daya yang secara sosial diinginkan tanpa perubahan pandangan dunia yang berfungsi sebagai mekanisme filter self-interest dan vested interest. Sejauh ini, penulis berpandangan bahwa selama revisi tersebut didesain dalam kerangka ‘netralitas nilai’ (dan ini tampaknya yang terjadi), maka kegagalan sistem tersebut hanyalah persoalan waktu.

Mencari Sistim Ekonomi Indonesia yang ‘Mensejahterakan’

Sering dikatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, juga bukan negara sekular, bukan negara sosialis, juga bukan negara kapitalis. Jadi Indonesia negara apa? Ketidakjelasan basis ideologi inilah yang kemudian memunculkan wilayah ‘abu-abu’ dalam sistem ketatanegaraan termasuk sistem ekonomi dan akhirnya cenderung ditafsirkan secara sepihak oleh pemerintah yang berkuasa. Sepanjang sejarah perjalanan kemerdekaan Indonesia selama ± 67 tahun, sistim ekonomi yang berlaku Indonesia cenderung seperti ‘pasal karet’ mengikuti platform politik pemerintah yang berkuasa (lihat Kuntjoro-Jakti, 2012). Sistim ekonomi yang berlaku pada era orde lama, orde baru, dan era reformasi mengklaim dirinya sesuai dengan konsepsi normatif konstitusi yaitu pancasila dan UUD 1945. Padahal, dalam kenyataannya sistim ekonomi yang berlaku pada tiga era tersebut benar-benar berbeda, yaitu orde lama cenderung bercorak sosialisme, orde baru bercorak kapitalisme, dan orde reformasi bercorak kapitalisme-liberal atau sering juga disebut dengan istilah open–market democrachy.

Terlepas dari beragamnya sistim ekonomi yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, pertanyaan yang paling penting adalah apakah dengan pilihan sistem ekonomi yang diterapkan, Indonesia telah mampu mewujudkan apa yang disebut dengan ‘kesejahteraan’? Jika merujuk pada sasaran-sasaran materiil seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hampir dipastikan kita akan menjawab bahwa Indonesia belum berhasil mewujudkan apa yang disebut “kesejahteraan”. Kita mungkin dapat berbangga dengan sejumlah kinerja ekonomi Indonesia seperti kenaikan rating dalam investment grade yang berarti Indonesia dinilai layak menjadi tempat investasi dengan risiko yang relatif terkendali oleh investor internasional, atau dengan ukuran GDP yang besar dan ditambah dengan komentar-komentar sejumlah ekonom mengenai kebangkitan ekonomi Asia Tenggara sebagai kekuatan baru ekonomi dunia, dan secara khusus Indonesia dipandang sebagai kekuatan yang dominan di kawasan ini. Tetapi, prestasi ini menjadi ironi jika melihat sejumlah data lain tentang ekonomi Indonesia. Misalnya, jika melihat data yang dikeluarkan oleh LPS terkait perkembangan jumlah simpanan di perbankan yang mendapat jaminan penuh dan tidak mendapat jaminan penuh. Dari jumlah total rekening 101.503.564, sebanyak 136.890 di antaranya tidak mendapatkan jaminan penuh dari LPS. Hal itu disebabkan nilai saldo melebihi batas penjaminan yang telah ditetapkan sebesar Rp. 2 miliar. Saldo total dari keseluruhan rekening yang tidak mendapat jaminan penuh tersebut mencapai Rp. 1.436.45 triliun.Adapun jumlah saldo total dari seluruh rekening (101.503.564) mencapai Rp. 2.803.32 triliun. Artinya, separoh lebih dari jumlah saldo total seluruh rekening hanya dikuasai oleh 136.890 rekening (http://www1.lps.go.id). Data ini memunculkan pertanyaan besar mengenai distribusi kemajuan ekonomi yang diperoleh Indonesia.

Di tahun 2011 sejumlah survei mengemukakan adanya peningkatan nilai kekayaan orang-orang kaya di Indonesia. Majalah Forbes misalnya pada November 2011 merilis 40 daftar orang terkaya di Indonesia dengan akumulasi kekayaan US$ 85,1 miliar (www.forbesindonesia.com). Angka tersebut naik 16% dari tahun 2010. Dengan kata lain, nilai kekayaan mereka setara dengan 11 persen total PDB Indonesia yang tahun 2011 mencapai US$752 miliar. Hebatnya, tiga orang terkaya dari daftar tersebut tersebut memiliki total kekayaan US$32,5 miliar. Berbagai laporan lembaga lainnya seperti Nomura, Credit Suisse Research Institute, Certified Wealth Manager’s Association, dan lain-lain juga memiliki kesimpulan yang sama bahwa jumlah orang kaya di Indonesia beserta asetnya semakin tinggi. Namun di sisi lain, angka kemiskinan di Indonesia masih relatif tinggi. Menurut BPS, penduduk miskin Indonesia tahun 2011, dengan pengeluaran kurang dari 230 ribu, mencapai 30 juta jiwa (http://www.bps.go.id). Jika ditambahkan dengan penduduk ‘hampir miskin’ yang pengeluarannya antara Rp 233-280 ribu, jumlahnya meningkat menjadi 57 juta orang atau 24% dari total penduduk Indonesia. Jumlah itu membengkak jika menggunakan standar kemiskinan internasional yakni kurang dari US$2 perhari. Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2009, sebanyak 50,7%  atau lebih dari separuh penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin (World Bank, World Development Indicators 2011). Selain itu, potret rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia juga terlihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP. Posisi Indonesia berada pada urutan ke-124 dari 187 negara (http://www.undp.or.id). Posisi tersebut lebih rendah dari beberapa negara Afrika. Ini membuktikan bahwa meskipun Indonesia masuk ke dalam anggota G-20, kelompok negara-negara yang memiliki GDP terbesar dunia, namun tingkat kesejahteraan rakyatnya masih relatif rendah.

Ketidakmerataan distribusi pembangunan ekonomi mungkin diperparah dengan keberagaman Indonesia secara geografis. Istilah “pusat dan daerah” ataupun “barat dan timur” seringkali muncul untuk menggambarkan perbedaan keduanya. Pusat dan Indonesia kawasan barat dinilai memiliki perekonomian yang maju, tak sebanding dengan perkembangan beberapa daerah di kawasan Indonesia timur yang lambat. Pertanyaannya, apakah Indonesia timur tidak sekaya Indonesia barat? Tentu tidak. Indonesia timur justru memiliki sumber daya alam yang melimpah. Ketimpangan yang terjadi tidak jarang menimbulkan tindakan anarkis di masyarakat. Beberapa aksi protes oleh masyarakat kepada investor asing yang dianggap tidak adil terkadang menjadi aksi pengrusakan, pembakaran, bahkan pembunuhan. Potensi konflik yang diciptakan karena adanya ketimpangan ekonomi sangat besar melihat fenomena yang terjadi selama ini, dan telah menjadi masalah klasik dari dulu hingga kini.

Pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah mengapa Indonesia belum dapat mewujudkan apa yang disebut “kesejahteraan” bagi rakyatnya? Mengapa ada jurang kesenjangan yang begitu besar dan cenderung tak bisa diatasi? Atau paling tidak mengapa Indonesia tidak memiliki standar kehidupan relatif yang sama dengan negara-negara seperti Malaysia, Korea Selatan, Thailand, atau beberapa negara lain di dunia yang memulai fase kemerdekaan yang sama? Apakah Indonesia kekurangan sumber daya alam? Atau kekurangan sumber daya manusia? mayoritas orang yang mengenal Indonesia tentu akan menjawab bukan. Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa. Setiap tahun putra-putri terbaik Indonesia memenangkan sejumlah kontes ilmiah Internasional seperti olimpiade fisika, kimia, matematika, dan lain-lain. Singkatnya, dengan memperhatikan unsur-unsur demografi, geografi, dan sejarah seharusnya Indonesia telah tumbuh menjadi sebuah negara yang ‘adidaya’ sehingga dapat memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Adanya potensi yang berbanding terbalik dengan kenyataan ini tentu menantang rasionalitas kita, apa yang salah dengan pembangunan ekonomi di Indonesia? Mengapa Indonesia tidak mampu bangkit menjadi sebuah bangsa yang dapat memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya?

Jawaban atas persoalan tersebut, salah satunya dapat dijelaskan oleh pilihan sistem ekonomi yang diterapkan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ketidakjelasan konsepsi ideologis telah menyebabkan tidak adanya konsepsi-konsepsi operasional pembangunan ekonomi yang baku sehingga memunculkan kesenjangan-kesenjangan yang besar antara gambaran ideal tatanan masyarakat yang diwujudkan dengan struktur/kelembagaan yang dibangun. Ketidakjelasan konsepsi ideologis tersebut juga berdampak terhadap pilihan-pilihan kebijakan pembangunan ekonomi yang ‘diklaim’ sebagai strategi yang tepat dan sesuai secara sepihak oleh pemerintah yang berkuasa (Lebih jauh lihat Kuntjoro-Jakti, 2012).

Harus diakui bahwa Pancasila yang diklaim sebagai basis ideologi, sebenarnya baru sekedar falsafah, atau dengan kata lain belum berupa ideologi yang lengkap sehingga dapat diinterpretasikan sesuai dengan keinginan pemerintah yang berkuasa. Pancasila tidak memiliki ‘concept of man’ dan ‘concept of society’ sehingga dalam konteks ekonomi, Pancasila tidak dapat memberikan kejelasan batasan ‘pasar’ dan peran ‘negara’ dalam perekonomian. Implikasi praktis ketidakjelasan basis ideologi tersebut menyebabkan perencanaan pembangunan ekonomi bersifat sporadis mengikuti platform politik pemerintah yang berkuasa, dan kebijakan ekonomi yang diambil cenderung didominasi pertimbangan ‘rente ekonomi’ dan ‘popularitas politik’. Banyak contoh yang dapat kita ajukan untuk menggambarkan hal tersebut terutama dalam peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah. Misalnya, apakah UU Penanaman Modal (yang memungkinkan pihak asing melakukan investasi di segala bidang nyaris tanpa hambatan), UU Migas (yang cenderung merugikan peran Pertamina sebagai BUMN dalam pengelolaan migas), atau UU Sumber Daya Air (yang mentransformasi air bukan hanya dalam fungsi sosial tetapi juga komersial) dan banyak lagi UU serta kebijakan lain adalah pancasilais? atau apakah kebijakan pemerintah menjual Indosat kepada pihak asing dan menyerahkan blok kaya minyak di Cepu kepada Exxon Mobil, bukan kepada Pertamina, adalah kebijakan yang Pancasilais? Demikian pula dengan kekayaan alam lainnya seperti emas, perak, tembaga, timah dan nikel yang dimonopoli pihak asing dan segelintir swasta domestik, sedangkan peran BUMN sebagai perwujudan milik rakyat semakin terpinggirkan. Singkatnya, pancasila tidak dapat memberikan jawaban seberapa besar ‘pasar’ diberikan ruang atau seberapa kuat negara ‘mengendalikan’ perekonomian. Tak heran, konsepsi tentang Ekonomi Pancasila yang dulu pernah digagas oleh sejumlah orang seperti Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Prof. Mubyarto tidak pernah terwujud. Akibatnya, sulit mendefinisikan bagaimana seharusnya alokasi dan distribusi sumber daya dalam perekonomian. Dalam konteks negara, sulit membayangkan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia, yang juga tentu berdampak terhadap upaya menciptakan kesejahteraan rakyat yang semakin jauh dari harapan.

Ketidakjelasan konsepsi ideologis menyebabkan arah pembangunan ekonomi Indonesia bersifat pragmatis dan ‘didikte’ oleh sistem ekonomi yang berlaku dominan secara global. Kenyataannya, meski diklaim bahwa sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia saat ini adalah sistem ekonomi campuran yaitu perpaduan antara peranan pemerintah/negara dan peranan pasar, tetapi tampaknya mayoritas kebijakan pemerintah didominasi oleh kutub kapitalisme-liberal dan semakin mengarah pada open market democrachy. Pilihan ini tentu memiliki sejumlah konsekwensi terutama terkait dengan kelemahan ‘struktural’ yang pasti terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Terlebih lagi, Indonesia menerapkan sistem tersebut tanpa ada revisi ‘struktural’ yang berarti. Maka tak heran ‘potret’ pembangunan ekonomi di Indonesia sepanjang sejarah kemerdekaan belum pernah mampu mewujudkan kesejahteraan.

Jika kemudian ada pertanyaan, pilihan sistem ekonomi seperti apa yang dapat mewujudkan ‘kesejahteraan’ bagi masyarakat Indonesia? Tidak ada jawaban yang pasti dari pertanyaan tersebut. Akan tetapi, menurut penulis paling tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan pilihan sistem ekonomi yang memberikan hasil lebih baik secara sosial dibandingkan dengan keadaan saat ini. Menurut penulis, hal terpenting yang harus ada dari suatu pilihan atau formulasi sistem ekonomi adalah apakah sistem tersebut memiliki pandangan dunia yang dapat berfungsi sebagai mekanisme filter atau kriteria moral dalam melakukan alokasi dan distribusi sumber daya. Karena apabila harta benda menjadi tujuan itu sendiri, maka akan menciptakan ketidakmerataan, ketidakseimbangan, dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan mengurangi ‘kesejahteraan’ masyarakat di masa sekarang maupun generasi yang akan datang. Komitmen moral untuk pencapaian tujuan-tujuan kesejahteraan dapat membantu adanya alokasi dan distribusi sumber daya yang tidak mungkin disediakan oleh sistem harga dan pasar dalam suatu lingkungan sekuler. Oleh karenanya, segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan moral tersebut harus ditempatkan sebagai kebutuhan sebagaimana kebutuhan lainnya, dan setiap alokasi dan distribusi sumber daya yang tidak dapat merealisasikan hal tersebut harus dianggap sebagai tidak efisien atau merata (adil).

Mekanisme filter disediakan oleh agama atau kepercayaan transendental dalam bentuk keimanan kepada Tuhan. Imanlah yang meletakan hubungan-hubungan kemanusiaan pada fondasi yang benar, memungkinkan umat manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan bersama. Iman memberikan suatu filter moral bagi alokasi dan distribusi sumber daya menurut kehendak persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi, serta sebagai pendorong untuk mencapai sasaran seperti pemenuhan kebutuhan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Tanpa adanya dimensi keimanan dalam keputusan yang dibuat manusia, maka tidaklah mungkin diwujudkan efisiensi dan pemerataan dalam alokasi dan distribusi sumber daya untuk mengurangi ketidakseimbangan makroekonomi dan ketidakstabilan ekonomi atau memberantas kejahatan, keresahan, ketegangan, dan berbagai degenerasi sosial.

Dalam konteks Indonesia saat ini, mekanisme filter tersebut tidak tampak dalam pembangunan ekonomi karena dominannya ideologi sekuler yang mendasari kehidupan masyarakat dalam bentuk feodalisme dan kapitalisme. Segala problematika ekonomi dipecahkan melalui kebijakan-kebijakan dalam perspektif sekularis dari sistem-sistem yang sedang berjalan. Akibatnya, kondisi kehidupan masyarakat justru semakin bertambah buruk seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Menurut penulis, sistem ekonomi yang berlaku di negara-negara maju termasuk sistem ekonomi kapitalisme tidak dapat menjadi model bagi pembangunan ekonomi di Indonesia karena ketiadaan mekanisme filter yang dapat menjamin terwududnya alokasi dan distribusi sumber daya yang efisien dan merata. Indonesia perlu memformulasi kembali sistem ekonominya dengan menggabungkan beberapa elemen tertentu dari kapitalisme dan sosialisme yang didukung oleh integrasi nilai-nilai agama sebagai mekanisme filter. Rekonstruksi ini tentu bukan pekerjaan mudah, memicu banyak perdebatan dan mungkin membutuhkan waktu yang tidak pendek. Akan tetapi kesempatan untuk perubahan takkan pernah terjadi jika hal tersebut tidak dilakukan. Di atas bangunan konstruksi sistem ekonomi yang baru inilah kemudian disusun konsepsi-konsepsi operasional pembangunan ekonomi yang baku dengan mempertimbangakan aspek-aspek demografi, geografi, dan sejarah termasuk food security, energy security, dan environmental security.

Kesimpulan

Sistem ekonomi yang dapat mewujudkan ‘kesejahteraan’ bagi Indonesia bukanlah sistem ekonomi kapitalisme atau sosialisme ataupun revisi dari keduanya. Juga bukan sistim ekonomi yang saat ini diterapkan di negara-negara maju. Sistem-sistem tersebut takkan pernah mampu mewujudkan kesejahteraan karena adanya kelemahan ‘struktural’ yang disebabkan oleh inkosistensi sasaran-sasaran yang ingin diwujudkan dengan pandangan dunia-nya, yaitu tidak adanya mekanisme filter yang dapat menjamin terwududnya alokasi dan distribusi sumber daya yang efisien dan merata. Sistim ekonomi yang dapat ‘mensejahterakan’ Indonesia paling tidak memberikan hasil lebih baik secara sosial dibandingkan dengan keadaan saat ini adalah sistim ekonomi yang memiliki pandangan dunia yang dapat berfungsi sebagai mekanisme filter atau kriteria moral dalam melakukan alokasi dan distribusi sumber daya, dan hal tersebut dapat diwujudkan dengan memformulasi ulang sistem ekonomi Indonesia saat ini dalam bentuk gabungan sejumlah elemen dari sistim ekonomi kapitalisme dan sosialisme yang didukung oleh integrasi nilai-nilai agama sebagai mekanisme filter. Selanjutnya, di atas bangunan konstruksi sistem ekonomi yang baru inilah dapat disusun konsepsi-konsepsi operasional pembangunan ekonomi yang baku dan dapat memberikan ‘kesejahteraan’.

 

Catatan Kaki:

1 perdebatan konsepsi kesejahteraan dalam ilmu ekonomi terkait dengan adanya pandangan yang menyamakan kesejahteraan dalam ekonomi normatif dengan kepuasan preferensi dalam ekonomi positif (lihat Hausman, 2008).

2 Aliran pemikiran ekonomi sangat beragam dan kompleks. Umumnya, para ekonom mengklasifikasi pemikiran ekonomi dalam tiga kelompok, yaitu neoklasik ortodoks, institusionalis, dan radikal. Duhs (2006) menyebutkan bahwa pembagian ini misalnya dilakukan oleh Ward (1979); Cole, Cameron and Edwards (1983). Bahkan, kalaupun diklasifikasikan menjadi dua kelompok, orthodox dan mainstream, masing-masing kelompok tersebut masih memiliki ragam varian yang cukup banyak (lihat Davis, Hands, and Maki (1998).    

 

Referensi:

Adam Smith, “Invisible Hand” in L.S. Stepelevich. 1977. The Capitalist Reader  Arlington House Publishers. New York

Burt, Edwin A. 2003. The Metaphysical Foundations of Modern Science. Dover Publications

Busky, Donald F. 2002. Communism in History and Theory: From Utopian Socialism to the Fall of the Soviet Union. Praeger Publishers. USA

Breit, W. et al. 1986. Readings in microeconomics. Times Mirror/Mosby College Pub. USA

Brinton, Crane. 1967. Enlightenment, in  Encyclopedia of Philosophy vol. 2, p. 521.

Carlyle, T. et. al. 2005. Past and Present. University of California Press. USA

Chapra. 1992. Islam and the Economic Challenge. International Institute of Islamic Thought

Dickens, Charles. 2012. Hard Times. CreateSpace

Durant, Will. 1970. The Story of Philosophy. Washington Square Press. USA

Durant, Will. 1993. The Story of Civilization. Mjf Books

Edgeworth, F. Y. 1881. Mathematical Psychics: An Essay on the Application of Mathematics to the Moral Sciences. C. K. Paul

Friedman, Milton and Rose Friedman. 1979. Free to Choose: A Personal Statement. Penguin Books.  London

Friedman, M. 2002. Capitalism and Freedom. University of Chicago Press. USA

Galbraith, J. Kenneth. 1999. The Affluent Society. Penguin Books.  London

George, Henry. 2002. Progress & Poverty: an Inquiry into the Cause of Industrial Depressions, and of Increase of Want with Increase of Wealth: The Remedy. Adamant Media Corporation

Greenberg, Edward S. 1974. Serving the FewCorporate Capitalism and the Bias of Government Policy. Wiley. New York

Hausman, D., 2008. The Philosophy of Economics. 3rd edition. Cambridge University Press. New York

Hutchison, T. 2000. On the Methodology of Economics and the Formalist Revolution. Cheltenham: Edward Elgar

Jevons, W. S. 1978. The Theory of Political Economy. Hayes Barton Press

Kagan, Robert. 2008. The Return of History and the End of Dreams. Knopf. USA

Keynes, John Maynard. 1963. Essays in Persuasion. W.W.Norton & Co. New York. pp. 358-373.

Kuntjoro-Jakti, Prof. (Emeritus) Dorodjatun. 2012. Menerawang Indonesia pada Dasawarsa Ketiga Abad ke-21. Pustaka Alvabet. Jakarta

Lovejoy, Arthur O. 1964. The Great Chain of Being: A Study of the History of an Idea, Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts.

Offe, Claus. 1984. Contradictions of the Welfare State. Hutchinson. London

Ruskin, John. 2006. Unto This Last. Cosimo Classics.

Sachs, Jeffrey. 2005. The End of Poverty:How We Can Make It Happen In Our Lifetime. Penguin Press.  London

Samuelson, P.A and Nordhaus, William D. 2009. Economics. 12th Edition. McGraw-Hill Book Company. Singapura

Spilanne, James J. 2003. “Industri Ringan Kaki : Neoliberalisme dan Investasi Global”, dalam I. Wibowo & Francis Wahono (Ed), Neoliberalisme, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas)

Toynbee, Arnold J. 1987. A Study of History. Oxford University Press. USA

Ward, Benyamin. 1972. What’s Wrong with Economics. Macmillan.

www.occupywallst.org

www.bps.go.id

www.forbesindonesia.com

www1.lps.go.id

www.thejakartaglobe.com

www.vanityfair.com

www.wikipedia.org

Leave a Comment

Leave a comment